Beranda

1 Mar 2012

Reaksi Pencoklatan (Browning) Enzimatis dan Non-enzimatis

    Reaksi pencoklatan browning terdiri dari reaksi pencoklatan enzimatis dan non-enzimatis. Reaksi pencoklatan enzimatis biasa terjadi pada buah-buahan dan sayur-sayuran yang memiliki senyawa fenolik. Senyawa ini berfungsi sebagai substrat bagi enzim polifenoloksidase (PPO/1,2-benzenediol/oxygen oxidoreductase; EC 1.10.3.1). Terdapat berbagai macam senyawa fenolik, yaitu katekin dan turunannya (tirosin), asam kafeat, asam klorogenat, serta leukoantosianin.
     Pada jaringan tanaman, enzim PPO dan substrat fenolik dipisahkan oleh struktur sel sehingga tidak terjadi pencoklatan. Untuk memicu terjadinya reaksi pencoklatan, harus ada reaksi antara enzim PPO, substrat fenolik, serta oksigen.
      Untuk mengontrol pencoklatan enzimatis dapat dilakukan inaktifasi PPO dengan panas, penghambatan PPO secara kimiawi (dengan asidulan, pengaturan pH, pengkelat, atau kofaktor esensial yang terikat pada enzim), agen pereduksi (asam askorbat & eritrobat), pengurangan oksigen (pengemasan vakum, perendaman gula, pelapisan edible film), enzim proteolitik, ataupun dengan madu (Hartoyo A et al 2010). 
      Senyawa fenolik dengan jenis ortodihidroksi atau trihidroksi yang saling berdekatan merupakan substrat yang baik untuk proses pencoklatan. Proses pencoklatan enzimatik memerlukan adanya enzim fenol oksidase dan oksigen yang harus berhubungan dengan substrat tersebut. Enzim-enzim yang dapat mengkatilis oksidasi dalam proses pencoklatan dikenal dengan berbagai nama, yaitu fenol oksidase, polifenol oksidase, fenolase, atau polifenolase; masing-masing bekerja secara spesifik untuk substrat tertentu. 

Reaksi pencoklatan non-enzimatis yaitu karamelisasi, reaksi Maillard, dan pencoklatan akibat vitamin C.
Karamelisasi
      Bila suatu larutan sukrosa diuapkan maka konsentrasinya akan meningkat, demikian juga titik didihnya. Keadaan ini akan terus berlangsung sehingga seluruh air menguap semua. Bila keadaan tersebut telah tercapai dan pemanasan diteruskan, maka cairan yang ada bukan lagi terdiri dari air tetapi cairan sukrosa yang lebur. Titik lebur sukrosa adalah 1600C. Bila gula yang telah mencair tersebut dipanaskan terus sehingga suhunya melampaui titik leburnya, misalnya pada suhu 1700C, maka mulailah terjadi karamelisasi sukrosa. Reaksi yang terjadi bila gula mulai hancur atau terpecah-pecah tidak diketahui pasti, tetapi paling sedikit melalui tahap-tahap seperti berikut: Mula-mula setiap molekul sukrosa dipecah menjadi sebuah molekul glukosa dan sebuah fruktosan (Fruktosa yang kekurangan satu molekul air). Suhu yang tinggi mampu mengeluarkan sebuah molekul air dari setiap molekul gula sehingga terjadilah glukosan, suatu molekul yang analog dengan fruktosan. Proses pemecahan dan dehidrasi diikuti dengan polimerisasi, dan beberapa jenis asam timbul dalam campuran tersebut.
     Warna coklat karamel didapat dari pemanasan larutan sukrosa dengan amonium bisulfat seperti yang digunakan pada minuman cola, minuman asam lainnya, produk-produk hasil pemanggangan, sirup, permen, pelet, dan bumbu kering. Larutan asam (pH 2-4,5) ini memiliki muatan negatif (Fennema 1996). Terdapat tiga kelompok karamel, yaitu karamelan, karamelen, dan karamelin, yang masing-masing memiki bobot molekul berbeda (Hartoyo A et al 2010). 

Reaksi Maillard
      Reaksi Maillard adalah reaksi yang terjadi antara karbohidrat, khususnya gula pereduksi dengan gugus amina primer. Hasil reaksi tersebut menghasilkan bahan berwarna cokelat, yang sering disebut dikehendaki atau kadang-kadang malahan menjadi pertanda penurunan mutu.
Reaksi Maillard berlangsung melalui tahap-tahap sebagai berikut :
  • Sutu aldosa bereaksi bolak-balik dengan asam amino atau dengan suatu gugus amino dari protein sehingga menghsilkan basa Schiff.
  • Perubahan terjadi menurut reaksi Amadori sehingga menjadi amino ketosa.
  • Dehidrasi dari hasil reaksi Amadori membentuk turunan-turunan furfuraldehida, misalnya dari heksosa diperoleh hidroksi metil furfural.
  • Proses dehidrasi selanjutnya menghasilkan hasil antara metil α-dikarbonil yang diikuti penguraian menghasilkan reduktor-reduktor dan α-dikarboksil seperti metilglioksal, asetol, dan diasetil.
  • Aldehid-aldehid aktif dari 3 dan 4 terpolemerisasi tanpa mengikutsertakan gugus amino (disebu kondensasi aldol) atau dengan gugusan amino membentuk senyawa berwarna cokelat yang disebut melanoidin.
    Reaksi Maillard terjadi antara gugus amin (asam amino) dan gula pereduksi (gugus keton atau aldehidnya). Pada akhir reaksi terbentuk pigmen coklat melanoidin yang memiliki bobot molekul besar. Reaksi yang diawali dengan reaksi antara gugus aldehid atau keton pada gula dengan asam amino pada protein ini membentuk glukosilamin. Selain gugus aldehid/keton dan gugus amino, faktor yang memengaruhi reaksi Maillard, adalah suhu, konsentrasi gula, konsentrasi amino, pH, dan tipe gula. 
      Berkaitan dengan suhu, reaksi ini berlangsung cepat pada suhu 100oC namun tidak terjadi pada suhu 150oC. Kadar air 10-15% adalah kadar air terbaik untuk reaksi Maillard, sedangkan reaksi lambat pada kadar air yang terlalu rendah atau terlalu tinggi. Pada pH rendah, gugus amino yang terprotonasi lebih banyak sehingga tidak tersedia untuk berlangsungnya reaksi ini. Umumnya molekul gula yang lebih kecil bereaksi lebih cepat dibanding molekul gula yang lebih besar. Dalam hal ini, konfigurasi stereokimia juga memengaruh, misalnya pada sesama molekul heksosa, galaktosa lebih reaktif dibanding yang lain (Hartoyo A et al 2010).

Pencoklatan Akibat Vitamin C
    Vitamin C ( asam askorbat) merupakan suatu senyawa reduktor dan juga dapat bertindak sebagai precursor untuk pembentukan warna cokelat nonenzimatik. Asam-asam askorbat berada dalam keseimbangan dengan asam dehidrokaskorbat. Dalam suasana asam, cincin lakton asam dehidroaskorbat terurai secara irreversible dengan membentuk suatu senyawa diketogulonati kemudian berlangsung reaksi Maillard dan proses pencoklatan.

DAFTAR PUSTAKA
Fennema OR. 1996. Food Chemistry. New York: Marcell Dekker Inc.
Winarno FG. 2008. Kimia Pangan dan Gizi. Bogor: MBrio Press